MASJID KUDUS & DEMAK
MASJID KUDUS
Masjid Kudus terletak
di desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid ini
didirikan pada tahun 1549 M atau 956 H oleh Syekh Jafar Sodiq yang lebih
dikenal sebagai Sunan Kudus. Masjid Menara Kudus, demikian orang-orang menyebut
sebelumnya diberi nama “Masjid Al Aqsha”.
Nama masjid itu tercatat dalam sebuah prasasti yang terpasang di bagian atas mihrab. Tulisan pada batu itu menyebut bahwa masjid itu bernama Masjid Al Aqsha di negeri Al Quds. Bunyi prasasti selengkapnya seperti ini:
Nama masjid itu tercatat dalam sebuah prasasti yang terpasang di bagian atas mihrab. Tulisan pada batu itu menyebut bahwa masjid itu bernama Masjid Al Aqsha di negeri Al Quds. Bunyi prasasti selengkapnya seperti ini:
Di ambang mihrab masjid terdapat sebuah piagam yang dipahat pada batu. Ditulis dengan menggunakan huruf Arab, piagam berukuran sekitar 40 x 23 centimeter ini dianggap melambangkan tanggal berdirinya bangunan masjid yaitu pada 28 Rajab 956 H atau 22 Agustus 1549 Masehi.
Masjid ini memiliki menara yang istimewa. Bentuk menara ini mengingatkan pada bentuk candi corak Jawa Timur. Regol-regol serta gapura bentar terdapat di halaman serambi, dan di dalam masjid bercorak kesenian klasik Jawa Timur itu. Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam.
Saat Islam masuk, pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha masih begitu melekat di masyarakat. Akulturasi tersebut mendorong masyarakat untuk menerima Agama Islam sebagai agama baru yang menghargai budaya. Langkah ini diambil Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran agama Islam di daerah itu.
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m.. Bahan bangunan dari bata merah berlantai keramik menghiasi bangunan yang berbentuk persegi panjang dengan delapan pancuran, dilengkapi arca yang diletakkan di atasnya. Ini mengadaptasi dari keyakinan Budha, Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga.
Di belakang masjid terdapat kompleks makam. Mulai dari makam Sunan Kudus dan Para ahli warisnya, tokoh lain seperti Panembahan Palembang, Pangeran Pedamaran, Panembahan Condro, dan lain-lain.
Nama Kudus baru dikenal setelah proses pengislaman berlangsung. Sebelumnya, wilayah ini dikenal bernama Tajug yang berarti rumah dengan atap berbentuk runcing.
Ja’far Shadiq yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus lantas mengubah nama Tajug menjadi Al Quds atau selanjutnya dalam lidah Jawa menjadi Kudus. Ja’far Shadiq diyakini mendapat inspirasi penamaan masjid dan wilayah itu sesuai dengan nama masjid Al Aqsha.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/640448-masjid-menara-kudus--akulturasi-islam--hindu-dan-
MASJID DEMAK
Masjid Demak merupakan Masjid yang banyak mengandung
akulturasi dari Hindu Budha yang sangat kental. Sebelum penulis menjelaskan
tentang akulturasi Hindu-Budha pada Masjid Demak. Penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan tentang akulturasi secara umum.
Di dalam Masjid Demak itu sendiri terdapat budaya
Hindu-Budha yang sangat kental. Menurut legenda sebelum membangun Masjid Demak, Sunan
Kalijaga berdiri di tengah-tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil
merentangkan tangan kemudian tangan kirinya tertuju kearah bumi dan tangan
kanannya tertuju ke arah kiblat.. Kaidah–kaidah inilah harus dipadukan dengan baik dalam
karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya . Pertimbangan
memadukan unsur-unsur Budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam,
sudah menunjukkan adanya akulturasi
dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal
perkembangan agama Islam di Jawa, dilakukan dengan proses, selektif tanpa
kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk
dikembangkan. Kaidah Islam dalam membuat masjid adalah arah kiblat, tempat Imam
(Maihrab), tempat Jemaah, tempat ber–wudhu adanya pemisahan ruang antara pria
dan wanita. Sedangkan adanya bentuk meru, pendopo (Mandapa), dan gerbang
merupakan kaidah-kaidah dalam Hindu. Kemudian kesan mengayomi, adanya serambi
dan kentongan merupakan kaidah– kaidah asli dari bumi Nusantara. Kaidah–kaidah
itu semua mempunyai jiwa dan kesan tersendiri dan tidak bisa diubah. Tetapi
dengan mengubah beberapa unsur berdasarkan kaidah–kaidah Islam dan memadukannya
dengan kaidah-kaidah yang sudah ada dan memiliki kesamaan makna, akhirnya dapat
dihasilkan suatu karya yang merangkum kaidah–kaidah tersebut . Hal ini yang
menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang
kaidah–kaidah yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah– kaidah
tersebut dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam
Bangunan ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun kota
Demak, seperti layaknya masjid-masjid Agung yang dibuat di saat raja-raja Islam
sedang berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid ini ialah terletak pada
bentuknya yang menunjukkan adanya perbauran dengan unsur Hindu pada saat itu,
yang kemudian menunjukkan kecondongan bentuknya pada bangunan candi (Rochym,1983:
109).
Pernyataan di atas membuktikan benar bahwa Masjid Demak
memiliki budaya Hindu-Budha, dapat di pastikan pengaruh pada saat masa
Kesultanan Demak, Hindu-Budha banyak pengaruhnya dalam pembuatan bangunan.
Masjid Demak memiliki bentuk atap yang tumpang tindih seperti punden berundak,
dan pada atap yang tumpang tindih itu ganjil sama seperti budaya Hindu pada
pembuatan pura atau candi yang berjumlah 3-11. Pada akulturasi arsitektur Islam
juga harus memperhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan
memikirkan kaidah baru yang dimasukkan. Pada masa tersebut sudah ada kaidah
Hindu dan Budha yang sudah menjadi kaidah yang ada di Indonesia. Sedangkan
kaidah Islam merupakan kaidah yang masih baru yang akan dimasukkan,
kaidah-kaidah tersebut yang akan dipadukan dengan baik dan tidak memaksa dalam
karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya.
Dari motif-motif hias yang terdapat pada tiang-tiangnya,
tampak adanya hubungan dengan budaya Majapahit (Rochym,1983: 109).dalam
motif-motif tersebut mempunyai hubungan dengan Majapahit, sedangkan Majapahit
merupakan kerajaan yang menganut Hindu-Budha. Secara langsung Masjid Demak
mengandung budaya Hindu-Budha pada motif tiangnya. di dalam motif tersebut
terkandung arsitektur yang sangat indah, dengan gaya pengukiran. Gaya
pengukiran pada tiang itu adalah budaya yang ada pada Hindu Budha itulah
mengapa taing tersebut masuk dalam budaya Indonesia pada saat itu.
Arsitektur Masjid Agung Demak dipengaruhi oleh arsitektur
jawa kuno. Pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut
tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipengaruhi oleh
masjid tersebut. Tiga aspek tersebut adalah atap meru, ruang keramat (cella)
dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap
bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap bertingkat dan mengecil ke atas
merupakan lambang vertikalisasi dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang
dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling
tinggi (Yulianingsih, 2010: 194).
Bagian-bagian tersebut merupakan salah satu contoh dari
akulturasi Islam dengan Budaya Hindu-Budha. Pada atap yang diberi nama atap
meru, ruang keramat dan tiang guru yang melingkup ruang cela. Ini merupakan
ciri khas dari bangunan-bangunan suci pada masa kerajaan jawa kuno. Di dalam
masjid Demak juga terdapat prasasti yang bergambar bulus, prasasti juga
merupakan karya seni pada Hindu-Budha. Masjid Demak juga ada Pintu bledheg.
Pintu tersebut mengandung karya arsitektur yang sangat bain dan gaya ukir pada
pintu Bledheg tersebut memiliki unsur Hindu-Budha di dalamnya. Karena pola-pola
ukir yang ada pada pintu tersebut adalah pola ukir yang dimiliki kebudayaan
Hindu-Budha pada saat itu.
Komentar
Posting Komentar